Bahasa Maluku Adalah – Bahasa merupakan produk budaya masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa dikatakan kompleks karena menyangkut pemikiran kolektif dan segala sesuatu yang ada dalam masyarakat. Suatu bahasa dikatakan aktif karena bahasa tersebut terus berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat. Pada hakikatnya, bahasa merupakan aspek terpenting untuk mempelajari kehidupan dan budaya suatu masyarakat.

Dalam bukunya Sosiolinguistik (1985), Konetrjaningrat menyatakan bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Artinya bahasa berada pada posisi subordinat di bawah budaya, namun sangat relevan. Namun banyak pendapat lain yang mengatakan bahwa hubungan antara bahasa dan budaya adalah harmonis, setara dan sama derajatnya (http://www.kompasiana.com & Mujib, 2009: 145-146).

Bahasa Maluku Adalah

Bahasa sebagai alat komunikasi yang melibatkan sistem simbolik yang dibangun dalam struktur hubungan kelompok sosial, dapat mempengaruhi struktur interaksi budaya secara umum. Tanda, simbol dan isyarat yang digunakan dalam bahasa mempunyai makna yang berkaitan dengan situasi kehidupan dan pengalaman nyata manusia (http://www.kompasiana.com).

Diskusi Kelompok Terumpun, Siapkan Silabus Bahasa Daerah Maluku Utara

Dalam konsep kebudayaan, bahasa dapat diartikan sebagai fenomena material, sehingga makna kebudayaan sebagai suatu sistem umum gagasan, tindakan, dan hasil aktivitas manusia dalam kehidupan bermasyarakat dapat dikaji lebih dekat. (http://www.kompasiana.com).

Secara umum bahasa-bahasa nusantara termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Namun di Maluku Utara, selain bahasa-bahasa yang termasuk dalam rumpun Austronesia, terdapat juga bahasa-bahasa yang mempunyai ciri-ciri yang sangat berbeda sehingga disebut bahasa non-Austronesia. Di Indonesia, bahasa-bahasa yang tergolong non-Austronesia paling banyak terdapat di sekitar Kepala Burung (Irian Jaya), sehingga para ahli bahasa menyebut bahasa-bahasa non-Austronesia yang terdapat di Indonesia sebagai bahasa-bahasa non-Austronesia cabang barat Papua. . kelompok (Lerissa, 1999: 54; Masinbo, 2001: 142-142).

Terdapat sekitar 36 bahasa daerah di Maluku Utara. Di antara bahasa-bahasa tersebut, ada bahasa yang termasuk dalam rumpun Austronesia dan ada pula bahasa yang termasuk dalam rumpun non-Austronesia (filum Papua Barat). Bahasa yang tergolong non Austronesia banyak terdapat di Halmahara bagian utara, dan bahasa yang tergolong Austronesia lebih banyak tersebar di Halmahara bagian selatan (Lerissa, 1999: 54; Masinambo, 2001: 144-145).

Jika dikaji lebih teliti, ternyata terdapat perbedaan yang signifikan antara bahasa-bahasa kelompok West Papua. Yang pertama adalah jenis bahasa yang terdapat pada masyarakat Halmehra Utara, seperti bahasa yang digunakan oleh Sahu, Gala, Loloda, Tublo, Pago, Module dan Tubaro. Termasuk bahasa-bahasa di Kepulauan Ternate dan Tidore. Kedua, adanya bahasa non-Austronesia yang dituturkan oleh penduduk Kepulauan Macean Barat, yang jelas merupakan varian (Voorhove dalam Lerissa, 1999: 54).

Baca Juga  Bagaimana Hubungan Antara Kondisi Cuaca Dan Kegiatan Yang Dilakukan Manusia

Pdf) Bahasa Melayu Ambon Dan Bahasa Indonesia Di Tengah Masyarakat Ambon: Tinjauan Sosial Historis Preferensi Penggunaan Bahasa Pada Masyarakat Ambon

Penduduk Halmehra bagian timur dan tengah (Maba, Veda, Patani) ternyata menggunakan bahasa campuran Austronesia dan non-Austronesia. Situasi khusus ini dipelajari oleh Prof. Masinambu (1976) menyebutnya sebagai zona konvergensi bahasa atau zona bercampurnya dua jenis bahasa.

Bahasa yang digunakan masyarakat Halmehra bagian timur dan tengah, seperti halnya sebagian besar wilayah Indonesia, umumnya tergolong bahasa Austronesia. Namun pada masa lalu, wilayah timur dan tengah Halmehra merupakan bagian dari kerajaan Tidore yang penduduknya berbicara dalam bahasa non-Austronesia. Tampaknya pengaruh pusat negara Tudor begitu besar sehingga terjadilah percampuran atau peleburan.

Bahasa-bahasa Austronesia di Halmahera Timur yang tergolong dalam bahasa keluarga filum Austronesia serupa dengan bahasa-bahasa yang digunakan di seluruh Indonesia, sering disebut oleh para ahli bahasa sebagai bahasa Melayu-Polinesia. Kelompok bahasa terakhir ini juga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Melayu-Polinesia Barat, Tengah, dan Timur.

Bahasa yang termasuk dalam kelompok Melayu-Polinesia Barat terdapat di Indonesia bagian barat. Namun anehnya, bahasa Melayu yang digunakan di Maluku Utara setidaknya sejak abad ke-16 termasuk dalam kelompok bahasa Melayu-Polinesia Barat. Bahasa Melayu-Polinesia Tengah banyak ditemukan di Maluku tengah dan tenggara, sedangkan bahasa Melayu-Polinesia Timur banyak ditemukan di Halmehra bagian selatan dan Iran bagian barat, serta di Oseania.

Istilah Bahasa Melayu Ambon

Meskipun kelompok bahasa Melayu-Polinesia Tengah banyak ditemukan di Maluku Tengah dan Maluku Tenggara, namun ada beberapa pulau di Maluku Utara yang bahasanya juga termasuk dalam kelompok ini, seperti pulau Sula, Mangul, Talabu, dan Bakan. Pulau Sedangkan bahasa Melayu-Polinesia Timur yang terdapat di Halmahara Selatan dapat dibedakan menjadi bahasa Halmahara Barat Daya (Gibeh Timur dan Makian, Veda, Sawai), bahasa Halmahara Tenggara (Halmahara Timur dan Tengah) seperti Patani, Maba adalah , di Pulau Buli dan Gebe (Grimes dan Grimes dalam Lerisa, 1999: 55).

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, selain bahasa-bahasa yang termasuk rumpun non-Austronesia, terdapat juga penutur bahasa Austronesia (Melayu-Polinesia) di Maluku Utara. Faktanya, penutur bahasa ini banyak ditemukan di daerah yang bukan pusat kerajaan besar di Maluku Utara, yaitu Ternate dan Tidore. Pengeras suara ini tersebar di Pulau Bangui, Pulau Sula, Pulau Bakan, Halmehra Timur, dan Halmehra Selatan.

Namun menarik juga bahwa bahasa Melayu juga digunakan di pusat-pusat kerajaan (Kedatan) untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Dahulu VOC dan Hindia Belanda rupanya menggunakan bahasa Melayu dalam berkomunikasi dengan sultan atau raja, terbukti dalam dokumen perjanjian dan surat menyurat.

Baca Juga  Pemanfaatan Alam Yang Dilakukan Oleh Manusia Untuk Memenuhi Kebutuhannya

Surat menyurat antara Kerajaan dengan VOC dan Hindia Belanda biasanya dilakukan dalam bahasa Melayu dan Gondola atau aksara Arab Jawa. Untuk menerjemahkan atau menulis balasan surat-surat tersebut, VOC dan Hindia Belanda mempekerjakan sejumlah penerjemah (interpreter), biasanya dari saudagar asing yang sudah lama atau turun-temurun menetap di Ternate. Dapat diasumsikan bahwa bahasa Melayu juga digunakan dalam komunikasi.

Seri Penyuluhan Bahasa

Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya budaya saudagar tersebut di atas dalam kaitannya dengan kerajaan-kerajaan di Maluku Utara. Namun dari negara-negara bagian tersebut, Ternate menerima unsur Melayu paling banyak. Dalam menceritakan kisah kerajaan-kerajaan di Maluku Utara, Valentin mengakui fakta bahwa literatur pesisir yang berasal dari kerajaan Islam lain di pulau itu juga ditemukan di Ternet (Lerissa, 1999: 57).

Bertemunya dua kelompok bahasa antara Austronesia dan non-Austronesia membentuk pola konvergensi-divergensi budaya di Maluku Utara. Pola konvergensi budaya terjadi melalui mekanisme asimilasi, akulturasi hingga tahap modern melalui terbentuknya masyarakat multikultural dengan tingkat dan kecepatan asimilasi dan konvergensi. Sedangkan pola keberagaman jelas memisahkan kelompok Austronesia dan non-Austronesia (Ali Ibrahim, 2007).

Terbentuknya masyarakat multikultural menempatkan wilayah utara Maluku dalam ruang budaya yang kompleks. Kompleksitas lanskap budaya ini terlihat dari keberadaan marga/suku yang beragam di Maluku Utara, dengan sekitar 36 suku yang tersebar di Maluku Utara.

Di antara 36 spesies yang ada di Maluku Utara, muncul pola konvergensi-divergensi antar spesies yang tersebar sebagai kelompok Austronesia di Halmehra bagian selatan, sedangkan di Halmehra bagian utara sebagai kelompok non-Austronesia. Temuan umum para sejarawan dan ahli bahasa sebagaimana disebutkan di atas adalah bahwa rumpun Austronesia di Halmehra selatan mencakup cabang Melayu Melayu-Polinesia Timur, Melayu-Polinesia Tengah, dan Melayu Polinesia Barat. Kehadiran ketiga subkelas Estonia di atas juga semakin menegaskan bahwa Maluku Utara juga merupakan daerah pertemuan ketiga subkelas Melayu di atas (Collins, 2018).

Pemprov Maluku Utara Dukung Pengembangan Bahasa

Bahasa merupakan bagian dari sistem budaya setiap masyarakat. Bahasa etnis di Maluku Utara merupakan unsur terpenting dalam pembentukan eksistensi budaya masyarakat Maluku Utara. Keberadaan bahasa etnis dengan sekitar 36 bahasa etnis menandakan bahwa Maluku Utara mempunyai keberagaman budaya atau masyarakat multikultural.

Pola konvergensi dan divergensi bahasa Austronesia dan non-Austronesia di Maluku Utara, serta pola pertemuan subcabang Melayu Polinesia (Barat, Tengah, dan Timur) mencerminkan kekhasan budaya Maluku Utara. Karena itu perlu adanya pelestarian bahasa daerah (suku) agar terhindar dari bahaya kepunahan. Jika suatu bahasa hilang, maka budaya juga akan hilang. Provinsi Maluku yang berpusat di Ambon terletak antara 03 derajat Lintang Utara – 8,30 derajat Lintang Selatan dan 125 derajat – 135 derajat Bujur Timur.

Baca Juga  Apakah Modal Utama Yang Dibutuhkan Untuk Mempertahankan Keutuhan Nkri

Provinsi Maluku begitu luasnya sehingga disebut sebagai provinsi seribu pulau. Terdiri dari rangkaian pulau-pulau besar dan kecil dari ujung utara hingga ujung selatan.

Pella adalah penghubung terkuat antara komunitas Muslim dan komunitas Kristen. Dan merupakan satu-satunya lembaga adat yang memerlukan kontak rutin antara kedua kelompok di tingkat desa, dan pada pelatihan utamanya, masyarakat diuji dari waktu ke waktu.

Kemeriahaan Malam Puncak Duta Bahasa Provinsi Maluku Utara Tahun 2020: Fatimah Abubakar Bsa (stkip Kie Raha) Juara I Kategori Putri

Ketika sebuah desa Muslim membantu kelompok Kristen anggota Pella, atau sebaliknya, bantuan ini juga mewakili sebuah komitmen, tidak hanya terhadap sekutu utamanya, tetapi juga untuk kepentingan persaudaraan Ambon. Misalnya, pengalihan masjid oleh warga Kristen di desa Hato kepada warga Muslim di Wakasiho (keduanya di Pulau Ambon) terulang di pulau-pulau lain.

Pella Rishta ini diciptakan dalam ikatan yang sangat kuat oleh kakek dan nenek atau nenek moyang. Anggota Pella tidak dibatasi oleh agama. Banyak contoh yang menunjukkan bahwa desa-desa Kristen telah terintegrasi dengan desa-desa Islam di satu tempat.

Kata Pella berasal dari “pila” yang berarti “membuat sesuatu bersama-sama”. Selain itu, jika ditambahkan akhiran -‘tu’ pada Pilato, berarti memperkuat bisnis Anda agar tidak berantakan dan mudah rusak. Namun ada pula yang mengasosiasikan kata “pela” dengan “pela-pela” yang berarti tolong menolong atau menolong satu sama lain. Dengan berbagai definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Pella adalah suatu ikatan persaudaraan atau kekerabatan antara dua desa atau lebih dengan tujuan untuk saling tolong menolong atau membantu dan mewujudkan nasib masing-masing. Dalam arti kebahagiaan dirasakan bersama, sulit dirasakan bersama (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 1356/1357: 27).

Pella Rishta ini biasanya disebabkan oleh suatu peristiwa dimana dua desa atau pemukiman bersatu untuk saling membantu. Ikatan persaudaraan ini mempunyai nilai dan aturan yang mengikat setiap orang yang tergabung dalam komunitas atau kekerabatan ini.

Data Kamus Maluku

Perdamaian ini konon dilakukan oleh nenek moyang kedua belah pihak yang bersumpah akan meminum darah yang diambil dari jari mereka dari gelas dengan minuman keras asli. Sumpah ini menyegel persaudaraan selamanya. Wabah ini biasanya atau biasanya disebabkan oleh kondisi perang.

Sebagian besar peristiwa tersebut terjadi akibat kontak dengan daerah lain di masa lalu, terutama pada abad ke-15. Saat itu ada kerajaan Ternate, Tidore, Bakan.

Makanan khas maluku adalah, lagu daerah maluku adalah, ibukota maluku utara adalah, bahasa daerah maluku utara, bahasa maluku, bahasa maluku dan artinya, kamus bahasa maluku, bahasa maluku utara, bahasa maluku sehari hari, kamus bahasa maluku utara, ibukota maluku adalah, bahasa daerah maluku