Penyelenggaraan Upacara Adat Merupakan Interaksi Manusia Dengan – Masyarakat di lereng barat Gunung Lawn, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, meskipun telah menganut agama resmi yang diakui pemerintah, namun tetap menyelenggarakan upacara adat yang dipusatkan di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti: mata air, pandan, dan peninggalan budaya. Upacara-upacara tersebut yaitu: Julungan, Mondosiyo, Dhukutan dan Dawuhan. Permasalahan yang disampaikan dalam artikel ini adalah: (1) Apa alasan masyarakat masih tetap menjalankan ritual adat tersebut, padahal dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya? (2) Apakah pelaksanaan ritual adat tersebut membawa manfaat bagi kehidupan masyarakat? Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui aspek-aspek yang mendasari kelangsungan upacara adat yang diwariskan secara turun temurun dan mengetahui manfaat yang dirasakan masyarakat dalam menyelenggarakan upacara adat tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual adat tersebut tidak ditujukan kepada makhluk gaib penguasa tempat suci tersebut, melainkan merupakan bentuk interaksi antara masyarakat dengan lingkungan alam sekitar. Penyelenggaraan ritual adat juga tidak terlepas dari kehadiran tokoh-tokoh mitos yang menguasai tempat-tempat suci. Tokoh-tokoh mitologi tersebut diperlukan untuk memberi makna pada perayaan upacara adat. Sugesti yang dijadikan pedoman merupakan bentuk komunikasi nonverbal antara masyarakat dengan lingkungan alamnya. Masyarakat di kawasan Gunung Lmvu bagian barat, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, menganut agama resmi yang diakui pemerintah, namun selalu melakukan ritual adat yang ditempatkan di tempat-tempat suci, seperti: mata air, pandan, dan cagar budaya. . Upacara adat tersebut adalah : Julungan, Mondosiyo, Dhukutan, Dawuhan. Topik dalam artikel ini adalah: (a) Apa alasan masyarakat di Gunung Lawo selalu mengadakan upacara adat, meskipun dianggap tidak sesuai dengan ajaran agamanya? (2) Apakah dampak ritual adat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat? Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengetahui alasan-alasan yang melatarbelakangi masyarakat dalam mewariskan upacara adat dari generasi tua ke generasi muda serta mengetahui manfaat yang dirasakan masyarakat dari penyelenggaraan upacara adatnya. Hasil artikel ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual adat tidak ditujukan kepada makhluk gaib penguasa tempat suci tersebut, melainkan sebagai sarana komunikasi antara masyarakat dengan alam sekitar. Penyelenggaraan ritual adat juga tidak terlepas dari kehadiran tokoh-tokoh mitos yang menguasai tempat-tempat suci. Tokoh-tokoh mitologi tentu memberi makna pada pelaksanaan ritual adat. Sesaji yang digunakan sebagai isyarat merupakan bentuk komunikasi nonverbal antara masyarakat dengan lingkungan alam sekitar. Manfaat bagi masyarakat adalah tersedianya hasil panen yang melimpah dan kebutuhan air.

Atkinson, JM, (1985). “Agama dan Suku Wina di Sulawesi Tengah”. Dalam Michael R. Kalapati (ed.). Peran budaya tradisional Indonesia dalam modernisasi. Jakarta: Yayasan Uber Indonesia. hal. 3-30.

Penyelenggaraan Upacara Adat Merupakan Interaksi Manusia Dengan

Bakhtiar, HW, (1997). “Observasi Sebagai Metode Penelitian”, Metode Penelitian Masyarakat. Redaksi: Koentjaraningrat, edisi ke-3, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Baca Juga  Garis Lintang Dipergunakan Untuk Membagi Wilayah Indonesia Menjadi Tiga

Penanaman Karakter Religius Di Sdn 1 Codo Kec. Wajak

Bascom, W., (1984). “Bentuk Cerita Rakyat: Narasi Prosa,” dalam Alan Dundes, Narasi Suci: Bacaan dalam Teori Mitos, Berkeley: University of California Press, hal. 529.

Dhavamoni, M., (1995). Fenomenologi agama. Cetakan 11. Yogyakarta : Kanisius. Eliade, M., (1963). Mitos dan Realitas, New York: Harper & Row.

Geertz, C., (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Kecamatan Ngargoyoso dalam angka. 2014. Karanganyar : Badan Pusat Statistik. Distrik Janeway dalam jumlah. 2014. Caraniar: Badan Pusat Statistik.

Kirk, GS, (1973). Fabel: Makna dan Fungsinya dalam Kebudayaan Kuno dan Lainnya, Berkeley: Cambridge University Press.

Presiden Ajak Pemimpin Jadi Teladan Nilai Pancasila

Ralunadsyah, A., Upacara Adat Julungan, Tradisi Pemberian Sedekah Bon Masyarakat Desa Kalisoro. https://sportourismid/post/8265/Upacara-Adat-Julungan-Tradisi-SedekahBumi-Masyaralcat-Desa-Kalisoro, diunduh pada 24 Februari 2017, pukul 16.00.

Rovihandono, R., (2009). “Apakah situs alam yang disakralkan masih bisa menjadi landmark budaya bagi konservasi sumber daya alam”. Bharvasuno Sujito, dkk. Situs Suci Alam: Peran Kebudayaan dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati (Prosiding Workshop Kebun Raya Cibodas, Cianjur, Jawa Barat 30-31 Oktober 2007). Jakarta: Yayasan Uber Indonesia, Komite Nasional MAB Indonesia, LIPI dan Conservation International Indonesia. hal. 281-291.

Yudana, dkk., (2015). “Pengelolaan kawasan Gunung Laos yang berwawasan lingkungan dan kearifan lokal di Kabupaten Karanganiar”. Konferensi Studi dan Pembangunan Perkotaan (CoUSD-1), 8 September 2015. He. 119-131. Desa Nagadas merupakan salah satu desa tempat tinggal masyarakat suku Tanggar. Kehidupan masyarakat di Desa Nagadas masih mengikuti budaya dan tradisi yang diturunkan secara turun temurun dari suku Tanggar. Di dalamnya terdapat berbagai ritual dan kepercayaan pada suku Tanggar, salah satunya adalah upacara Karo. Permasalahan terjadi ketika jumlah penduduk desa Nagades bertambah, namun tidak diimbangi dengan bertambahnya luas desa, mengingat lokasi desa Nagades terletak di kawasan hutan lindung di pegunungan Bromo-Tenger. -Samru, dan pemerintah daerah serta instansi terkait dalam hal ini pihak dinas kehutanan membatasi wilayah desa Nagadas sehingga menjadikan desa Nagadas padat dan padat. Salah satu permasalahannya adalah bagaimana mereka menyelenggarakan upacara budaya-keagamaan, yaitu. upacara Karo, dalam ruang terbatas? Melalui penelitian fenomenologis dan melihat dari sudut pandang teori pembentukan ruang, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pembentukan ruang yang digunakan untuk ritual budaya upacara Karo pada masyarakat Desa Ngades, Tangier.

Baca Juga  Kumpulan Berikut Yang Bukan Merupakan Himpunan Adalah

Desa Nagadas secara administratif terletak di Kecamatan Ponkokosumu, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Masyarakat Desa Nagadas merupakan satu-satunya suku Tanggar yang ada di wilayah Kabupaten Malang. Menurut para sesepuh desa, Desa Nagadas terbentuk pada tahun 1794, yang berawal dari pelarian warga Japahit, karena tekanan kerajaan dan agama baru yaitu Islam. Mereka yang masih ingin mempertahankan keyakinannya, pergilah ke Pegunungan Tanger. Awalnya hanya mencakup lereng tengah pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut. Seiring berjalannya waktu, pada pertengahan abad ke-18, program tanam paksa yang dilakukan Belanda menjadikan seluruh lereng tengah menjadi perkebunan kopi, dan kopi menjadi komoditas unggulan yang diharapkan dari program tanam paksa tersebut. Program peternakan paksa mengakibatkan hanya sedikit orang yang tinggal di daerah lereng. Pusat migrasi menempati daerah lereng atas pada ketinggian 1200-2500 meter di atas permukaan laut. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengaruh dari luar masyarakat dan untuk melestarikan tradisi yang dianut masyarakat sejak zaman Majapahit (Hefner, 1999). Hal serupa juga terjadi pada masyarakat Ngadas.

Article Text 33574 1 10 20200806

Berbeda dengan masyarakat Tanggarh yang pada umumnya beragama Hindu, masyarakat di Desa Nagadas sebagian besar beragama Budha, hal ini dikarenakan masyarakat Nagadas merupakan masyarakat yang terisolasi dari masuk dan berinteraksi dengan desa lain, khususnya di desa lain di Tanggarh. Dengan demikian pengertian lokalitas menimbulkan suatu sistem kekerabatan yang tercipta atas dasar kesamaan wilayah. Apalagi bagi masyarakat Tanggar khususnya di Desa Nagadas, sistem perkawinan biasanya bersifat endogami untuk melestarikan etnis Tanggar.

Masyarakat Ngadas secara administratif dipimpin oleh kepala desa, yang dipilih dalam pemilihan masyarakat desa dan biasanya menjabat seumur hidup. Sedangkan dalam upacara budaya-keagamaan, masyarakat Negads dipimpin oleh seorang pesulap, dan pesulap ini diturunkan secara turun temurun dari para pesulap sebelumnya dan tidak dapat diwakili oleh siapapun. dukun, sehingga peran dukun sangat penting dalam kehidupan ritual sosial mereka.

Faktor sosial budaya aspek kekerabatan di Desa Nagadas sangat mempengaruhi perkembangan pola tata ruang secara mikro dan makro (pedesaan). Hal ini terlihat ketika mereka mengadakan upacara ritual keagamaan, baik dalam rangka Sauma, Sadulor, Sadsu maupun pengorbanan besar Wong Tenggar akan membentuk suatu ruang bersama sebagai ruang budaya, yaitu ruang yang berfungsi sebagai ruang budaya. tempat tradisi ritual mereka.

Baca Juga  Gerakan Tari Menyembah Menggunakan Bagian Tubuh

4. Upacara barican dilaksanakan setelah terjadinya gempa bumi, bencana alam, gerhana matahari atau peristiwa lain yang mempengaruhi kehidupan masyarakat desa.

Bahan Bacaan Interaksi Manusia Dan Lingkungan

5. Upacara Mobang Pujan. Upacara ini dilaksanakan pada bulan kesembilan atau Panglong Kesanga, yaitu pada hari kesembilan setelah bulan purnama.

Upacara marga yang sangat besar adalah Upacara Kasada yang dilaksanakan oleh masyarakat Tangier yang dilaksanakan di muara Gunung Bromo.

Sedangkan Upacara Karo, Unan-unan, Barikan dan Pujan Mubeng merupakan upacara dalam batas desa (Sa’deso), namun menggunakan agenda masyarakat Tengger.

Sedangkan Upacara Kelahiran, Entas-entas, Tugel Kuncung/Tugel Gomba, Pernikahan, Liliwet, merupakan acara Sa’dulur dan Sa’omah, dalam hal ini ruang lingkupnya adalah kekerabatan kecil.

Makna Gelar Adat Terhadap Status Sosial Pada Masyarakat Desa Tanjung Aji Keratuan Melinting

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui, bagaimana terciptanya ruang yang digunakan untuk melakukan kegiatan peribadatan budaya-religius di Desa Nagadas?, yang pada akhirnya akan menjadi pedoman bagi kelestarian keberadaan ruang tersebut sebagai bagian dari budaya keagamaan mereka. Upacara.

1. Ruang adalah suatu tempat, setidaknya suatu tempat, suatu medan yang dinamis dengan benda-benda yang secara langsung dan kualitatif berkaitan dengan pemanfaatannya

2. Behavioral space, yaitu ruang yang merupakan tempat terjadinya interaksi antara orang-orang yang aktif dan berperilaku

4. Ruang berkaitan dengan psikologi, yaitu ruang berkaitan dengan cara pandang egosentris pelaku, bahwa ruang bergantung pada pengalaman yang berbeda-beda, ketika di tempat yang sama setiap orang dapat bereaksi berbeda.

Fungsi Rumah Adat Dan Contohnya

1. Tempat umum untuk kepentingan umum (otoritas sipil publik), seperti jalan utama dimana banyak orang, 500 orang atau lebih dapat berkumpul (tempat bagi orang asing, terbuka untuk akses umum, dimana setiap orang dapat masuk)

2. Area publik yang berdekatan (properti lingkungan umum), seperti subbagian jalan utama atau jalan samping dari kawasan perkotaan yang lebih besar, satuan luas yang dapat menampung 100-500 orang (tempat di mana setiap orang dapat pergi atau berada. Tempat untuk alasan tertentu)

3. Semi publik (domain kolektif) seperti jalan perumahan yang terdiri dari 5 hingga 30 orang (di mana setiap orang dapat berada di sana karena suatu alasan, namun para tetangga dapat merasakan bahwa jika seseorang datang tanpa tujuan maka akan terlihat mencurigakan, dan mereka adalah tidak nyaman. )

4. Domain semi pribadi (semi private domain) seperti

Pdf) Makna Simbolik Tradisi Ritual Massorong Lopi Lopi Oleh Masyarakat Mandar Di Tapango, Kabupaten Polman, Provinsi Sulawesi Barat

Interaksi manusia dengan, interaksi manusia dengan hewan, jelaskan interaksi manusia dengan lingkungan, interaksi manusia dengan komputer pdf, makalah interaksi manusia dengan lingkungan, interaksi manusia dengan lingkungan, interaksi manusia dengan lingkungan alam, interaksi manusia dengan lingkungan ekonomi, interaksi manusia dengan alam, interaksi manusia dengan lingkungan sosial, interaksi manusia dengan komputer, interaksi manusia dengan lingkungan budaya